Selamat Datang

Selamat Datang, Semoga Silaturrahim Kita Akan Terus Terjaga, Terima Kasih

Minggu, 05 Juni 2011

WISUDA SISWA YASFI TA 2010-2011


Ketika tulisan ini dibuat, acara baru saja selesai. Acara yang cukup melelahkan dan menguras otak agar berjalan sukses dan lancar. Memang menutup tahun ajaran 2010-2011, Yayasan Pendidikan Fisabilillah (YASFI) menyelenggarakan Wisuda gabungan TK, SDIT, MI, MTs dan SMA acara rutin tahunan yang sudah mentradisi. Jumlah siswa yang di wisuda tahun ini adalah 232. 

Acara berjalan lancar dan khidmat diawali prosesi kirab peserta wisuda dari halaman masjid YASFI menuju gedung olahraga (GOR) YASFI. Acara wisuda tahun  ini  mengambil tema “Dari YASFI Untuk Indonesia, Kami Persembahkan Generasi Qur’ani Calon Pemimpin Masa Depan Bangsa”  tema ini diambil sebagai bentuk keprihatinan terhadap munculnya krisis keteladanan sebagian pemimpin bangsa saat ini. Maka YASFI berharap dan punya mimpi dari lembaga inilah suatu saat muncul generasi pembaharu, berakhlakul karimah, berkarakter dan jujur.

Selain dihadiri oleh seluruh walimurid peserta wisuda, hadir pula dalam wisuda ini, Camat Kec. Pondok Melati (Bapak Drs. Deded Kusmayadi), Kepala UPTD Pembinaan SD (Bapak Ahmad Baihaqi, S.Pd, M.Pd). dan Mantan Kepala Biro Umum Departemen Agama RI (Bapak Sukarmanto Sodiq).

Ketua YASFI KH. Rahmaddin Afif dalam sambutannya dengan membawa bunga yang dipersembahkan anak-anak lewat pentas mereka, mengatakan ; bunga ini merupakan inspirasi bahwa kita harus lebih memperhatikan anak dan para remaja bangsa yang tumbuh sebagai tunas-tunas baru bangsa agar mereka kelak punya keahlian, kejujuran dan dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, anak-anak inilah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Maka, kita yang lebih tua berharap pada kemampuan dan kepemimpinan mereka di masa yang akan datang.

Al-hamdulillah kelulusan tingkat SLTA dan SLTP yang sudah diumumkan, siswa-siswi YASFI 100 % lulus.

Prosesi wisuda di barengi pentas seni siswa terdiri dari paduan suara YASFI, marawis Pondok Yatim YASFI, Story Telling, Pidato 4 bahasa bersamaan (Bahasa Inggris, Arab, Sunda dan Jawa),  Nasyid,  gerak tari, Band dan banyak lainnya.   

Kamis, 19 Mei 2011

PONDOK YATIM YASFI

I. MUKADIMAH

“Sebaik baik rumah adalah yang didalamnya terdapat anak-anak yatim dan dipenuhi hak-haknya, dan seburuk-buruk rumah adalah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim dan tidak dipenuhi hak-haknya”, (Al-Hadist).

Kesadaran untuk berbagi merupakan sikap mulia yang diajarkan Islam. Fitrah dan naluri manusia sebagai makhluk sosial sendiri selalu menuntut untuk bersikap peduli dan peka terhadap segala penderitaan, kekurangan dan keterbatasan yang ada pada sesama. Di sisi lain penyelenggaraan pendidikan dan kesejahteraan sosial bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab semua pihak yang memiliki kemauan dan kesempatan melaksanakan kegiatan ini, dalam rangka membantu saudara kita yang berada dalam kesulitan ekonomi dan pendidikan.

Allah SWT dan rasul-Nya mengajak kita untuk memperhatikan anak-anak yatim dan dhuafa. Dalam banyak ayat dan hadits disebutkan sebuah kabar gembira bagi orang yang suka memelihara, memperhatikan, dan mengurus anak yatim. Misalnya, dalam sebuah hadits riwayat Imam Thabrani dari Abi Darda’, Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian ingin mendapatkan ketenangan hati dan terpenuhi kebutuhan? Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berikanlah makanan dari makananmu, pasti engkau akan mendapatkan kedua hal tersebut.”

Sebaliknya, ada ayat dan hadits yang memberikan peringatan keras terhadap orang yang suka menghardik atau tidak memperhatikan anak yatim. Allah SWT berfirman dalam QS 107, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” 
Kondisi di atas menjadi tanggung jawab kita semua, warga masyarakat yang peduli terhadap realitas sosial terutama nasib anak-anak yatim/piatu, demi kelangsungan hidupnya mereka butuh tempat tinggal, makan, pendidikan, kesehatan yang memadai dan yang terpenting karena anak-anak itu juga merupakan generasi penerus agama dan bangsa, maka eksistensi dan masa depannya harus diperhatikan demi keberlangsungan agama dan bangsa juga.

Demi menjawab keterpanggilan itu, dan menebarkan misi dakwah dan sosial yayasan pendidikan Fisabilillah (YASFI) sejak tahun 1987 mendirikan pondok yatim yang saat ini berjumlah 72 orang putera dan puteri. Mereka dibiayai oleh yayasan baik kebutuhan makan maupun pendidikan dan kesehatannya. Penanganan mereka tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, maka kami memerlukan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari dukungan materil sampai kepada pendidikan yang dapat mengarahkan mereka menjadi generasi yang berkualitas, memiliki kompetensi yang tinggi sehingga punya kemandirian dan kepedulian terhadap agama dan bangsanya.

II.  SEKILAS TENTANG  YASFI

YASFI (Yayasan Pendidikan Fisabilillah), didirikan pada tahun 1977 dimulai dengan pendirian madrasah diniyyah awwaliyah. YASFI beralamat di Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi (30 km dari pusat Jakarta) di tengah umat beragama yang beragam. Dilingkungan YASFI dimana anak-anak yatim kami tinggal, sebelah utara dengan jarak masing-masing 100 m dan 300 m, terdapat 2 gereja besar yaitu gereja Katolik Servatius dan gereja Protestan Pasundan. Di sebelah selatan ada 3 gereja yang juga relatif tidak terlalu jauh. Namun, sejauh ini masyarakat Kp. Sawah walaupun berbeda agama dan keyakinan tetap menjaga kerukunan satu sama lainnya. Bahkan di bulan November 2010 lingkungan YASFI menjadi percontohan tingkat nasional sebagai lingkungan dengan pluralisme dan toleransi umat beragama yang tinggi.

YASFI menitik beratkan aktivitasnya dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Implementasi dari proses perkembangan itu adalah berdirinya Madrasah Ibtidaiyah (MI, 1977) Madrasah Tsanawiyah (MTs, 1987),  Taman kanak-kanak (TK, 1987), Sekolah Menengah Atas (SMA, 1994) dan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT, 2003). Sementara pada bidang sosial di tahun 1987 telah mampu menjalankan salah satu programnya yaitu dibangunnya sebuah gedung asrama yatim dan mengasuh sebagian anak yatim yang sebelumnya disantuni secara insidentil oleh yayasan.

Anak yatim yang saat ini berjumlah 72 orang ditanggung pembiayaan keperluan hidupnya oleh yayasan, baik kebutuhan pokok, biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Disamping itu yayasan membantu anak-anak lainnya yang tidak tertampung di asrama karena keterbatasan sarana. Sementara sumber dana saat ini masih diperoleh dari para donatur dan simpatisan, baik yang bersifat tetap maupun tidak tetap (insidentil) dan usaha-usaha ekonomi dari warga asrama sendiri walaupun belum bersifat profit ansich tetapi lebih kepada penanaman keterampilan dan life skill santri.


DATA PRESTASI SANTRI YATIM YASFI :

  1. Piala bergilir MTQ Masjid Jami Al-Muamanah tahun 1402/1981
  2. Juara II Lomba Shalawat Hadroh Putri Remaja Masjid Nurul A’la  Jati Luhur Tahun2000
  3. Juara II Lomba shalawatan  Persatuan Remaja Islam Mafatihul Ma’arif  Tahun 2001
  4. Juara I  Lomba Adzan Persatuan Remaja Islam Mafatihul Ma’arif  Tahun 2002
  5. Juara I  Lomba Cerdas Cermat SMAIT Saripatunnisa Jati Sampurna Tahun 2004
  6. Juara III lomba Cerdas Cermat SMAIT Saripatunnisa Jati Sampurna Tahun 2004
  7. Juara II Lomba Cerdas Cermat BKI PT Jasa Marga Tahun 2004
  8. Juara III Lomba Cerdas Cermat BKI PT. Jasa Marga Tahun 2004
  9. Juara Harapan I Lomba Cerdas Cermat PT.Jasa Marga Tahun 2004
  10. Juara I Lomba MTQ Putra se kota bekas iIkatan Remaja Masjid Siti Rawani Tahun 2005
  11. Juara II Lomba MTQ Putra se kota bekas iIkatan Remaja Masjid Siti Rawani Tahun 2005
  12. Juara III Lomba MTQ Putra se kota bekas iIkatan Remaja Masjid Siti Rawani Tahun 2005
  13. Juara Harapan I Lomba MTQ Putri se kota bekas iIkatan Remaja Masjid Siti Rawani Tahun 2005
  14. Juara I Lomba Hifzil Qur’an keluarga Besar Remaja Masjid Al hidayah Jatisari Tahun 2005
  15. Juara III Lomba Pidato Bahasa Inggris Putra Se kota Bekasi Porseni Pontren Tahun 2005
  16. Juara III Lomba Bulu Tangkis Ganda Putra Se kota Bekasi Porseni Pontren Tahun 2005
  17. Juara III Lomba Kaligrafi Keluarga Besar Remaja Masjid Al Hidayah Jatisari Tahun 2005
  18. Juara II Lomba Cerdas Cermat Se Jabodetabek OSIS MAN 06 Jakarta Tahun 2007
  19. Juara III Lomba Pidato OSIS SMA YASFI Tahun 2007
  20.  Juara I Lomba Cerdas Cermat OSIS MTS YASFI Tahun 2008
  21.  Juara I Lomba Cerdas Cermat OSIP PonPes YASFI Tahun 201  
  22. Juara Umum lomba-lomba dalam rangka Hari jadi  Panti asuhan di Cibubur Tahun 2011
Kirimkan Donasi Anda melalui :
Rekening Bank BRI No. 140901001563507 A/N PONDOK YATIM YASFI
Atau kami sangat bahagia bila bapak/ibu berkenan berkunjung ke tempat kami di :
YASFI (Yayasan Pendidikan Fisabilillah) Jl. Kp. Sawah RT 06/002 Kel. Jatimurni, Kec. Pondok melati, Kota Bekasi 17431 Telp. (021) 8449884, 085285556453

Rabu, 18 Mei 2011

DIALOG BUDAYA DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI YASFI KAMPUNG SAWAH

Oleh : Sholahudin Malik

Pada hari minggu tanggal 8 mei 2011 diadakan dialog budaya dan kerukunan umat beragama di Kp. Sawah bertempat di Gedung Olah Raga YASFI (Yayasan Pend. Fisabilillah, Pondok Melati, Kota Bekasi). Hadir sebagai nara sumber Budayawan Arsewendo Atmowiloto, Sony Kerap (mantan menteri lingkungan hidup), Gus Nuril dan KH Rahmaddin Afif sebagai tuan rumah. Kegiatan ini follow up dari dijadikannya Kp. Sawah sebagai daerah percontohan kerukunan umat beragama tingkat nasional oleh Departemen agama RI. Kegiatan ini diselelnggarakan komunitas Ngeriung Bareng Kp. Sawah. 

Semua nara sumber sepakat bahwa Kp. Sawah adalah sebuah model wilayah yang harus ditiru untuk bekal membangun. Kerukunan menjadi perekat masyarakat untuk menciptakan suasana yang kondusif. Sony Kerap misalnya memaparkan selagi wilayah lain di Indonesia masih berkutat dengan perbedaan dan mencari bentuk yang benar untuk merukunkan diri, Kp. Sawah sudah jauh meninggalkan mereka dalam hal kerukunan umat beragama. Sony Kerap mengaku sangat mengagumi kampung sawah yang sudah memahami kecintaan terhadap kemanusiaan. Gus Nuril sendiri mengingatkan audiens untuk tidak sekedar mengangkat aroma kerukunan di Kp. Sawah ke tingkat nasional tetapi lebih jauh ke Internasional agar menjadi sarana percontohan kerukunan di dunia. 

Sementara Budayawan Arswendo mengingatkan peserta tentang peran budaya yang dapat menjadi sarana pencair kerukunan antar kelompok, kekaguman Arswendo terhadap kampung sawah diwujudkan lewat puisinya yang berjudul "Daerah Istimewa Kampung Sawah". Acara dialog sendiri diawali oleh abah KH. Rahmaddin Afif pimpinan Yayasan Pend. Fisabilillah (YASFI) Putera asli Kp. Sawah yang mengembangkan Islam di Kp. Sawah tetapi tetap menjaga kerukunan di Kp. Sawah. beliau mengatakan kerukunan penting untuk modal membangun, tidak mungkin kita dapat membangun bangsa ini tanpa diawali dengan kerukunan, dari kampung sawah untuk bangsa, dari YASFI untuk negeri, dari YASFI kita belajar bahwa hidup ini penuh warna, bahwa perbedaan adalah sunnatullah dan sudah selayaknya kita memenej perbedaan untuk proses integrasi bangsa.

Selasa, 17 Mei 2011

ULAMA, POLITIK DAN JARINGAN EKONOMI PESANTREN

Oleh : Sholahudin Malik

Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai” atau “ulama”. Kyai/Ulama dan Pesantren merupakan dua elemen yang menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan, walaupun ada pula ulama yang tidak memiliki pesantren, tetapi kebanyakan para ulama memiliki pesantren tempat ia menurunkan ilmu-ilmu keagamaannya. 


Pada kebanyakan pesantren, dahulu seluruh komplek merupakan milik kyai, tetapi sekarang, kebanyakan pesantren tidak semata-mata dianggap milik kyai saja. Melainkan milik masyarakat. Yang pertama karena dahulu pesantren berdiri atas dasar modal pribadi kyai, sedang yang kedua, karena sekarang banyak kyai yang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk mengongkosi pembiayaan dan perkembangan pesantren.[1] Sejarah pendirian dan perjalanan pesantren sebenarnya didasarkan pada akar tradisi yang kuat di kantong-kantong pedesaan di Indonesia. Kalaupun dalam perkembangannya di kota juga bermunculan pesantren, tetapi tidak sebanyak yang lahir di pedesaan. Tradisi itu juga masuk dalam wilayah pendidikan, sepanjang menyangkut pemeliharaan tata nilai dan pandangan hidup yang ditimbulkannya di pesantren, harus tetap dikembangkan, karena memiliki cukup banyak kelebihan. Pengembangan tata nilai tradisional dan norma lokal inilah yang akan mampu memelihara kepemimpinan informal yang telah dimiliki pesantren di kalangan masyarakat selama ini.[2]  

Ulama dan pesantrennya yang banyak memperoleh bantuan sumber-sumber keuangan memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan pesantren dari sisi infrastruktur atau bangunan fisik. Bantuan itu datang dari pemerintah dan masyarakat umum. Disamping santri dan guru (ustadz) serta karyawan yang dari dalam turut mencoba mengembangkan pendidikan dan ekonomi pesantren, pengelolaan koperasi pesantren, misalnya. Sehingga ada dua kelompok yang saling berinteraksi yaitu kelompok intern, kyai dan orang-orang pesantren dan kelompok lain yaitu masyarakat dan pemerintah sebagai pendonor pesantren.

Dalam kaitan ini, penulis membedakan ulama/kyai sebagai figur sentral pesantren  menjadi ulama yang murni berkiprah dalam urusan pendidikan dan keagamaan dan ulama yang selain concern terhadap urusan keagamaan juga ‘berpolitik’. Ulama yang berpolitik, adalah ulama yang masuk dalam partai politik atau di luar partai politik tetapi menunjukkan kecenderungan langkah-langkahnya memiliki ‘muatan politik’. Realitas mengatakan bahwa kecenderungannya ulama yang berpolitik lebih banyak memiliki sumber-sumber dana dan bantuan sehingga tingkat ekonomi pesantren lebih maju dibanding ulama yang tidak memiliki keterkaitan dengan politik praktis. Zaman Orde Baru misalnya, pesantren yang memiliki ‘hubungan’ dengan GOLKAR lebih maju secara fisik dari pesantren yang ‘tidak’ GOLKAR. Pesantren dan ulama yang berpolitik gedung-gedungnya megah, pembangunan pesat karena bantuan mengalir lancar. Kenyataan ini bukan tanpa resiko. Perbedaan kepentingan menyangkut kekuasan dan materi antara ulama terlebih yang berbeda bendera politik mengakibatkan banyak benturan yang terjadi di lapangan.

Kenyataannya kemudian ada ulama-ulama yang tidak mampu menjaga jarak dengan kekuasaan sehingga kebijakannya lebih banyak menjadi alat legitimasi kekuasaan pemerintah. Karena kepentingan manusiawi yang kadang lebih dominan, yang menurut Nietzsche menyembunyikan kehendak untuk percaya (will to truth) dan kehendak untuk berkuasa (will to power), tujuan agama yang sebenarnya, yaitu sebagai alat pembebas dan pencerah manusia, mengalami distorsi bahkan bergerak kearah sebaliknya. Bahkan agama dalam sistem politik yang kurang demokratis menjadi alat untuk menyudutkan orang yang kritis, menjadi anti rasionalisasi, menjadi sistem sosial yang beku dan kaku, menjaga kepentingan ekonomi-politik lapisan tertentu, dll. Contoh, para ulama MUI yang secara ‘sukarela’ mencicipi produk tertentu untuk membuktikan bahwa produk itu tidak memiliki kandungan lemak babi[3], merupakan suatu bukti agama digunakan untuk pembenaran ekonomi-politik. Padahal kalau kita memahami perjalanan sejarah bangsa Indonesia, aspek organisatoris dari agama pernah digunakan untuk melawan dan membebaskan dominasi penjajah di sektor ekonomi politik, seperti perlawanan dagang pribumi dengan membentuk Sarekat Islam (SI). Sialnya, pada masa ini terkadang agama hanya diberi ruang gerak sebatas ritual tanpa boleh menjelma menjadi gerakan politik, atau depolitisasi agama, sehingga agama hanya sebatas pada norma tanpa dapat menjelma dalam etika dan realisasi pembebasan umat dari kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Aspek perlawanan dari agama telah dieliminasi ke dalam aspek perkawanan (kooptasi) oleh negara.

Hubungan sinergi yang muncul antara ulama dan pemerintah atau perusahaan adalah hubungan yang saling melengkapi (baca; menguntungkan) (complementary). Pemerintah/partai politik akan memiliki dukungan yang signifikan dari pesantren yang merupakan lembaga dengan daya dukung luas di masyarakat, atau perusahaan akan memperoleh dukungan ulama seperti gambaran Suaedy di atas. Sedangkan pesantren atau ulama biasanya memperoleh bantuan materil yang dapat mengembangkan bangunan fisik pesantren atau modal – modal usaha yang tergabung dalam koperasi pondok pesantren yang telah memiliki wadah organisasi sendiri.

Seperti diketahui ada 2 hubungan syinergi antara pemerintah/negara dan masyarakat :
1.   Hubungan struktur sinergi, yang memiliki fokus pada perbedaan antara dasar sinergi yang saling melengkapi antara pemerintah dan masyarakat, dan sinergi yang melewati pembagian antara yang bersifat publik dan pribadi.
2. Menggali kedaan sosial dan politik sebagai fasilitas munculnya sinergi.[4]  

Buat pesantren sendiri hubungan ini menguntungkan karena pesantren berkembang lebih pesat dan dapat mengembangkan jaringan ekonomi yang lebih luas, tetapi seringkali tidak mengakar di masyarakat sekitar pesantren. Modal itu bertumpuk pada sang ulama, sehingga ada pesantren yang ulamanya memiliki banyak BMW yang merupakan mobil-mobil Built up, tetapi masyarakat sekitar tak terberdayakan ekonominya. Tetapi juga, tidak sedikit pesantren yang mampu menjadikan kelekatan dengan pemerintah dalam kaitannya dengan proses pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan ini yang disebut sebagai pesantren ideal.

Kerja sama yang dibangun antara pemerintah dan pesantren ada yang bersifat pribadi, ada juga yang terlembagakan dalam organisasoi-organisasi. Misalnya INKOPONTREN (Induk Koperasi Pesantren) yang merupakan organisasi koperasi pesantren se Indonesia yang diketuai oleh KH. Nur Muhammad Iskandar dari Pesantren As-shidiqiyah, Jakarta. Kerjasama yang bersifat Makro berbentuk pelatihan dan keterampilan, sedang kerjasama yang bersifat mikro misalnya usaha perkebunan kelapa sawit milik pemerintah yang digarap para santri dengan keuntungan bagi hasil.



[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,  Jakarta, LP3ES, 1994 hal. 44
[2] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren, Yogyakarta, LkiS, 2001 hal. 59
[3] Ahmad  Suaedy, Spiritualitas baru, agama dan keadian: Perspektif Islam” dalam Spiritualisa baru: Agama dan Aspirasi Rakyat Diterbitkan oleh INTERPIDEI, Yogyakarta, 1994 hal. 160
[4] Peter Evans, governmentAction, Social capital and Development ; Reviewing the Evidence on Syinergy, World development, Vol 24, No , 1996 pp.1119

NII ; UJIAN BAGI KEUTUHAN NKRI

Oleh : Sholahudin Malik, M.Si


Setelah sekian lama terkesan mati suri, belakangan ini NII kembali menjadi bahan perbincangan di sebagian kalangan masyarakat. Saat ini jumlah anggota NII disinyalir berjumlah 170 ribu orang. Jumlah tersebut memang kecil jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk Indonesia. Namun gerakan ini sungguh mengancam NKRI, dan menjadi ujian bagi keutuhan negara. Anggota NII telah masuk ke berbagai sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mereka masuk melalui jalur politik, pendidikan hingga ekonomi. Jika gerakan ini tidak segera diatasi, cepat atau lambat gerakan ini tidak hanya berdampak negatif bagi kenyamanan masyarakat, tetapi juga keutuhan negara ini.

Maka jelas dari kaca mata agama NII sesat dan menyesatkan, namun karena gerakan ini OTB (organisasi tanpa bentuk), tidak memiliki asas hukum, tidak ada lembaran sebagai acuan organisasinya, maka sulit untuk di fatwakan haram. Dan karena gerakannya telah merongrong pancasila, ada upaya mengganti ideologi negara maka yang bertindak haruslah pemerintah, karena perbuatan itu tergolong makar dengan membangun negara dalam negara.

Para ulama sendiri menganggap NKRI telah final, ideal diterapkan di negara seperti Indonesia. Maka upaya-upaya untuk merongrong kedaulatan negara harus ditindak tegas. Namun, ketegasan itu juga perlu diimbangi dengan sosialisasi dan kegiatan konkrit untuk mencintai negara ini.

Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Itu artinya kekerasan, radikalisme bukanlah wajah agama.

Membangun Masyarakat, Membangun Karakter Bangsa    

Secara lahir, masyarakat nampaknya terbangun secara alamiah, tetapi bagi pemimpin, masyarakat itu harus dibangun. Membangun  apa saja  harus ada konsepnya. Bangunan tanpa konsep atau salah konsep akan berakibat rusaknya tatanan,  Indonesia adalah negeri dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, tetapi bangunan masyarakat Indonesia belum tentu bisa disebut masyarakat Islam, (masyarakat muslim ok)  Buktinya bangsa kita Dewasa ini sedang diterpa berbagai predikat negatif, yang menjadikan agama  yang dianut seakan tidak relevan dengan kualitas masyarakatnya.

Membangun karakter dewasa ini sama sulitnya seperti menebar benih di musim kemarau, tidak tumbuh. Tetapi jika tidak ada yang menebar benih di musim kemarau, nanti ketika musim hujan yang tumbuh hanya alang-alang. Sekaranglah sebenarnya momentum membangun karakter bangsa, dimana radikalisme dan kekerasan terjadi dimana-mana, kriminalitas dengan pencucian otak menebar, mafioso menjadi panglima dan kejujuran menjadi sesuatu yang langka di negeri ini.

Untuk membangun atau merevitalisasi pendidikan karakter tentu perlu dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Dalam hal ini lembaga pendidikan berperan sebagai motor penggerak yang terus menyerukan dan mensosialisasikan pendidikan karakter. Sekolah maupun kampus harus mengintegrasikan nilai-nilai moral positif dalam setiap mata pelajaran dan perkuliahan. Pesantren sebenarnya telah lebih dulu dan merupakan lembaga yang secara konsisten membangun karakter ini dengan penanaman nilai-nilai dan akhlakul karimah.

Di luar itu semua, pemerintah harus lebih responsif dalam menyikapi gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat. Pendekatan kepada kelompok-kelompok yang dianggap ekstrim harus mempertimbangkan sisi sosiologis dan psikologis. Dengarkan apa aspirasi mereka yang sejatinya masih bagian dari bangsa Indonesia. Namun apabila diperlukan, tindakan tegas tanpa kompromi patut diberikan bagi mereka yang telah meresahkan masyarakat. Intelejen harus lebih jeli melihat fenomena setiap gerakan yang dapat membahayakan dan meresahkan kehidupan masyarakat
Ulama sebagai orang yang paling dekat dengan masyarakat memiliki peran yang sangat urgent untuk menangkal gerakan NII, ulama, ustadz/guru harus dapat memberikan pemahaman terus-menerus kepada ajaran agama yang benar, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Mengingatkan terus menerus akan bahaya NII di setiap forum pengajian, majelis taklim dan tempat-tempat pendidikan. Mengingatkan akan pentingnya patriotisme dan kecintaan kepada tanah air. Para elit Islam juga harus memberikan suri tauladan kepada masyarakat.

Menegakkan syari’at Islam di bumi Allah SWT. sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim di dunia ini. Kewajiban ini bukannya tak berlaku lagi ketika kekhalifahan Islam telah melewati masa keemasannya. Justru sebaliknya, kita sebagai pribadi, yang merupakan bagian dari umat Islam di seluruh dunia, harus menanamkan nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan memulainya dari diri kita masing masing. Membangun karakter dengan menerapkan Islam yang benar, memiliki moralitas yang tinggi merupakan suatu awal yang baik menuju negara yang baldhatun thoyyibatun wa robbun ghofur”

Minggu, 01 Mei 2011

ETIKA MENURUT PANDANGAN KAUM RASIONALIS DAN VOLUNTARIS

Oleh : Sholahudin Malik

Barangkali, titik awal berangkat yang terbaik bagi pembahasan persoalan etika ini adalah lewat al-Qur’an. Begitu banyak yang bisa kita bicarakan mengenai etika dalam al-Qur’an. Suatu pembicaran yang sempurna tidak akan dapat dilakuakan, kecuali kalau kita bersedia berakhir dengan pengungkapan seluruh kitab itu sendiri. Namun dalam Islam itu sendiri sudah ada ciri terpokok mengenai etika yang dalam buku Filsafat Islam Oliver Leaman dibedakan dua pendapat antara penganut pandangan tradisionalis dan mereka yang mempunyai semangat pembaharuan yaitu mereka yang bersandar pada kemampuan akal pikiran (ra’yu).

Penganut pandangan tradisionalis, diberi julukan sebagai golongan pembela dan pendukuang ajaran etika al-Qu’ran (ethical valuntarist), berpendapat bahwa semua keputusan hukum harus berdasarkan keputusan agama, dan jika perlu hukum tersebut diambil secara tidak langsung dari sumbernya yang asli, melalui beberapa cara  pengambilan hukum yang dibenarkan, seperti analogi (qiyas), yang seringkali ditafsirkan dalam pengertian yang agak ketat dan terbatas, bahkan mereka meyakini bahwa apa yang dimaksud dengan norma-norma etis, adalah hanya apa yang dapat dibenarkan atau tidak dibenarkan, apa yang diperintah atau dilarang oleh Tuhan. Sedangkan golongan  “Rasionalis” berpendapat dalam kasus-kasus tertentu, dimana hukum agama tidak dapat memberikan pedoman yang jelas, maka seseorang harus menggunakan keputusan akal pikiran sendiri untuk dapat sampai pada kesimpulan hal-hal yang diperselisihkan dalam hukum maupun etka.

Arti etika sendiri menurut para ahli etika medern, pada hakikatnya, tidaklah melulu bersangkut paut dengan pengetahuan tentang “baik” dan “buruk”. Etika bukan cuma terbatas pada sisi normatifnya saja, etika pada dasarnya menyangkut bidang kehidupan yang luas, paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh Alasdair Macintyre, etika menyangkut analisa konseptual menganai hubungan yang dinamis antara manusia sebagai subyek yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan dorongan motivasi dasar tingkah lakunya, dengan cita-cita tujuan hidupnya serta dengan perbuatan-perbuatan.

Kembali pada persoalan semula, perselisihan mendasar dan pertentangan pada mayarakat  pemeluk Islam tentang etika, secara luas telah dibahas oleh George Hourani, seorang yang benar–benar teguh dalam mengambil posisi sebagai pendukung pengkritik pandangan kaum “Tradisionalis”. Dan di dalamnya banyak pendapat seperti al-Ghazali yang tersohor sebagai seorang tokoh pembela tesis golongan voluntaris, ada Mu’tazilah sebagai pendukung golongan rasionalis, ada Asy’ariah, ada Maimun dan lain sebagainya yang dalam pembahasan akan kita coba jabarkan secara terperinci.

B. Kontroversi Golongan Rasionalis dan Tradisionalis tentang Etika Dan Kritik George  F. Hourani.
Kaum “Tradisionalis” berpendapat bahwa hasil yang diperoleh dari penggunaan pemikiran secara bebas  tidak mampu memberikan jaminan kepastian terhadap wahyu atau bahkan sesungguhnya tidak dapat menjamin kepastian akal itu sendiri. Keyakinan bahwa apa yang dimaksud dengan norma etika adalah hanya apa yang dapat dibenarkan atau tidak  dibenarkan oleh Tuhan, adalah karena adanya pemahaman yang berungkali terhadap kekuasaan dan kekuatan Tuhan dalam banyak surat. Argumen seperti itu, jika diikuti lebih lanjut akan menyatakan bahwa jika aturan-aturan atau perintah Tuhan tersebut sesuai dengan nilai-nilai obyektif yang sudah ada maka dengan demikian ruang lingkup kemahakuasaannya akan terbatasi.

Hourani sendiri, memulai pembahasannya dengan menguji teks-teks yang pada permukaannya tampak sulit untuk ditafsirkan dengan cara seperti yang ditempuh oleh kaum voluntaris. Banyak teks yang menunjukan pada bidang etika dan hubungan yang interpersonal, sebagai contoh : “Jalan kekerasan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang berbuat aniaya terhadap sesamanya”. (QS. XL : 42).

Hourani berpendapat bahwa penggunaan istilah “salah” atau “aniaya” secara pasif,  bahkan sangat sulit untuk dianalisa atau dijabarkan dengan menggunakan teori voluntaris seperti dalam ayat : “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan membalas sesudah dianiaya”.(QS. XXVI. 22). Dia berpendapat bahwa kalimat-kalimat ini tidak bisa ditafsirkan dari sudut pengertian taat atau ketidaktaatan terhadap perintah-perintah Tuhan dan dia berkesimpulan bahwa hal ini membuktikan tesis golongan voluntaris adalah salah. Maka jelas, ungkapan penganiayaan diri atau perbuatan salah tidak dikaitkan dengan pengertian perbuatan salah secara moral, dan pengertian etika yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tampak lebih kuat muncul  dari pengertian sercara obyektif  dan deskriptif.

Golongan anti voluntaris sendiri mempunyai banyak bukti yang dijadikan sandaran bahwa akal adalah faktor yang pokok dalam keberadaan manusia, terutama dalam kaitannya dengan alasan Tuhan menjadikan manusia lain daripada malaikat dan sebagai  wakilnya (khalifah)nya  dibumi. Manusia mampu mengetahui nama-nama segala sesuatu atau sifat realitas yang utama, sehingga ketika Tuhan menunjuk kita sebagai khalifah dimuka bumi, Dia percaya bahwa kita akan menggunakan akal pikiran kita untuk menggunakan secara baik karunia itu.

C. Pandangan al-Ghazali
al–Ghazali sebagai pembela golongan voluntaris berpendapat bahwa “orang turki, kurdi dan orang baduy yang primitif”  yang eksistensi mereka lebih tinggi dari binatang, dengan bekal naluri mereka tahu bahwa mereka harus menghormati yang lebih tua sebagai hasil dari pengalaman dan penggunaan akal mereka. Apakah itu berarti mereka menemukan kewajiban-kewajiban mereka tanpa bantuan agama. Tentu saja kesimpulan demikian amat jauh dari apa yang dimaksud oleh al-Ghazali.

Sebenarnya Ghazali membedakan empat penggunaan akal (aql) :

Pertama : Akal merupakan kualitas yang dapat membedakan kita manusia dengan binatang dan yang memungkinkan tumbuh berkembangnya ilmu teoritis.
Kedua : Akal dapat memungkinkan kita dapat berbuat sebagaimana anak-anak membuat permainan yang tersusun dari atauran-aturan kebenaran (necessary truth). Ketiga : Yang tidak umum akal juga dipersamakan dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengalaman.
Keempat : Akal dikenal sebagai pengendali hawa nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis seseorang. Dalam kaitan ini, hubungan antara akal dan tindak perbuatan yang benar secara moral adalah menarik. Perbedaan tradisional yang biasa disebut orang antara keduanya adalah seperti perbedaan antara aqliyat dan sam’iyat ; aqliyat adalah jenis pengetahuan yang dapat diperoleh lewat akal saja serta lewat proses demonstratif (pembuktian), sedang sam’iyat atau juga disebut al-‘Ulum ash-sharia wa diniya (ilmu-ilmu syari’ah dan agama) adalah hukum dan ilmu pengetahuan agama yang disusun berdasarkan wahyu, maka sifatnya-pun bukan demonstratif.

Jelas bahwa al-Ghazali menerima suatu kenyataan bahwa paling tidak ada beberapa aturan etika yang termasuk wilayah pengetahuan rasional tentang bagaimana seyogyanya manusia hidup bersama dengan yang lain. Menarik untuk dikaji pandangan al-Ghazali lebih lanjut. Meskipun dia ragu terhadap nilai manfaat filsafat dan pendekatan yang digunakan oleh golongan anti voluntaris yang diajarkan oleh tokoh-tokoh filsafat Yunani. Namun komentarnya atas filosofis terhadap etika begitu halus terutama jika dibandingkan dengan komentarnya terhadap ajaran-ajaran filsafat  tentang penciptaan alam semesta, keabadiaannya serta pengetahuan Tuhan. Meskipun demikian al-Ghazali menganggap bahwa pendapat para filosof tetap berbahaya, baik bagi mereka yang menerimanya maupun mereka yang menolaknya. Tetapi untuk mengatakan bahwa keberatan al-Ghazali terhadap ajaran-ajaran filsafat mengenai etika jauh tidak sekuat serangannya terhadap ajaran-ajaran filsafat yang berkaitan dengan persoalan-persoalan metafisik.

D. Pandangan Mu’tazilah
Mu’tazilah menyatakan bahwa akal yang bebas merupakan petunjuk yang memadai untuk memperoleh pengetahuan etika, dan inilah yang ditentang oleh al-Ghazali. al-Ghazali berpendapat bahwa akal bukanlah selalu merupakan pembimbing yang dapat dipercaya untuk memperoleh pemahaman bagaimana hendaknya kita mengembangkan pengetahuan etika dan pengetahuan agama yang cocok, hal ini bukan berarti akal tidak punya arti sama sekali.

Mu’tazilah dalam penentangannya terhadap kaum voluntaris pada bidang etika, mengembangkan teori deontologis yang memepersamakan istilah kunci etika seperti wajib, baik dan buruk (wajib, hasan dan Qabih) sebagai “kriteria bagi barang siapa yang tidak mengerjakan berarti dia akan memperoleh celaan” dan “bagi barang siapa yang mengerjakan maka sang pelaku akan memperoleh pujian”. Konsekuensi tindak perbuatan tertentu tidak selalu memasuki wilayah keputusan, sehingga uraian-uraian moral harus sesuai dengan tindak perbuatan tersebut.

E. Pandangan Maimun
Dalam pandangan Maimun, seseorang tidak dapat menggunakan akalnya untuk menentukan hal-hal yang ada di dalam wilayah tindakan moral, apakah dikarenakan pernyataan-pernyataan moral adalah bersifat subyektif?, hanya menyangkut pendapat dan perasaan, semata-mata menyangkut adat kebiasaan, seperti yang dikemukakan oleh pendukung anti hukum alam. Menurut Maimun undang-undang moral, sebelum peristiwa jatuhnya Adam dalam dosa, adalah sama dengan aturan-aturan logika yang bersifat demonstratif.
Namun dia juga berpendapat, bahwa akal manusia memegang peranan yang penting dalam menentukan bagaimana seharusnya tindak perbuatan kita mengambil bentuk, dan bahkan jika kita tidak punya wahyu sebagai tempat kembali, atau jika kita tidak menerima tawaran pendapat yang disampaikan wahyu, kita tetap dalam posisi memerima ‘urutan kedua terbaik’ dalam bentuk nomos sebagai pengganti taurat. Menerima dan merancang hukum ini melibatkan penggunaan akal, dan ini adalah suatu langkah menuju perjalanan jauh menuju inti keberadaan manusia yang dapat dicerna oleh akal, yang terus menerus bersifat paradigmatik. 

GLOBALISASI DAN PERUBAHAN PESANTREN DALAM TRADISI DEMOKRASI

Oleh Sholahudin Malik, M.Si

Agama melihat tingkah laku kita sebagai tingkah laku yang dibimbing oleh kepercayaan keagamaan dan nilai-nilai yang dianut oleh agama. Sedangkan demokrasi bukan agama dan bukan sistem keagamaan, tetapi merupakan sistem politik. Demokrasi juga mencita-citakan hal yang sama bahwa tingkah laku harus jujur, tidak boleh menipu, menghormati orang lain, toleran dalam perbedaan. Apa perbedaan antara demokrasi dan agama ?. Agama melihat hal ini sebagai nilai-nilai, persoalan baik atau buruk itu persoalan nilai. Kalau semakin baik menghayati agamanya, maka semakin baik seseorang. Sedangkan demokrasi dalam hal baik atau buruk adalah masalah kekuasaan. Semakin kekuasaan diawasi, maka semakin baik orang dan semakin tidak diawasi semakin buruk kekuasaan.  
Pesantren selama ini dikenal sebagai institusi pengusung utama masalah-masalah keagamaan (baca; Islam). Dalam sejarahnya pesantren dianggap sebagai lembaga Islam tradisional dengan ‘Trade mark’nya pengkajian kitab-kitab kuning. Seiring arus globalisasi yang merupakan suatu proses dimana batas-batas negara luluh dan tidak penting lagi dalam kehidupan sosial, lambat laun banyak pesantren yang mengalami perubahan mendasar dalam perjalanannya. Media massa, baik cetak maupun elektronik, merupakan saluran utama globalisasi. Cepatnya komunikasi elektronik dan berkembangnya teknologi percetakan jarak jauh membuat aneka macam informasi yang disampaikan melalui media massa menembus batas-batas negara.
Dalam dunia pesantren, perubahan mendasar corak pesantren akibat globalisasi adalah perubahan dari tradisional ke modern yang merupakan representasi dari masyarakat modern. Kenyataan itu mendikotomikan pesantren menjadi pesantren tradisional yang dikenal memakai sistem salafi (mengkaji kitab kuning) dan pesantren modern yang tidak lagi mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Ekses globalisasi tidak lantas menjadikan pesantren kehilangan orientasinya. Tetapi pesantren, terutama yang modern melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan aturan-aturan modernitas, itulah yang disebutkan Giddens bahwa dunia modern mengakibatkan tiga hal sekaligus: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. 
Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang "bertemu" tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan "diciptakan", tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens-status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.
Pesantren ‘modern’ menjadikan mereka sebagai pekerja kebudayaan, pesantren ini mencakup semua ruang  lingkup belajar yang lebih luas: bagaimana seorang santri mampu melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang terus berubah. Berkaitan dengan pendidikan pesantren sekarang ini misalnya, orientasi lapangan harus digunakan sebagai bahan pengajaran kitab kuning. Dengan pengajaran kitab yang sarat pengetahuan dan bercorak normatif, para santri sangat sedikit memiliki perspektif agama (Islam) sebagai tantangan ijtihad sosial. 

Apakah para santri yang lokasi pesantrennya tidak jauh dari pemukiman masyarakat kumuh, misalnya, mampu menghubungkan realitas sosial seperti itu dengan wacana kitab kuning yang hanya dipelajari sebagai bahan penguasaan dan ke-alim-an. Belum lagi kalau kita berbicara tentang kekayaan seni Islam yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka untuk dipahami, sehingga Islam yang normatif itu tidak terasa kering karena kurang nuansa humanities keislamannya. Karena itu, pengajaran kitab kuning sudah waktunya dibuka dengan orientasi kemanusiaan yang lebih luas dan tidak hanya sekadar memasukkan perspektif modernitas, seolah-olah pesantren terbebani dengan dorongan perlunya "pencerahan" sehingga pesantren merasa harus beradaptasi dengan rasionalitas dan perkembangan sains dan teknologi.
Dengan menggunakan orientasi lapangan, para santri juga akan mengetahui secara langsung, bagaimana sering timpangnya antara anjuran agama yang ideal dan realitas yang sesungguhnya. Dengan kunjungan lapangan secara langsung sudah tentu para santri bisa diajak berpikir mencari alternatif lain, bagaimana menemukan bentuk lain dalam menggali harta-harta agama dalam kehidupan masyarakat industri sekarang ini yang orientasinya bukan wakaf tanah melainkan, mungkin, bisa dikembangkan wakaf dalam bentuk lain. Dengan demikian, selain para santri sejak awal telah dirangsang berpikir kreatif dan tidak konsumtif dalam menerima pengajaran kitab kuning. Mereka sekaligus, dengan orientasi lapangan seperti itu, bisa mengetahui bagaimana hubungan kesalehan dengan konflik-konflik kepentingan sosial.

Tradisi pluraisme dan demokrasi kini juga banyak dikembangkan dalam wacana pesantren, pesantren-pesantren NU entah karena figur GUS DUR misalnya, tidak asing lagi dengan jargon-jargon demokrasi dan pluralisme yang bermuara pada sikap toleran.
Sisi lain Giddens dalam  buku-bukunya memunculkan Nation-state and Violence, karena dua konsep itu menjadikan kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknolog. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.
Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau tidak cocok. Ambillah contoh di bidang pengobatan. Orang dapat memilih pengobatan cara Barat tetapi ia dapat juga memilih "pengobatan alternatif." Mengapa ia memilih yang satu dan tidak yang lain? Jawaban yang diperoleh sering berupa "tidak tahu".
Dalam situasi ini tidak heran bahwa Giddens tiba pada kesimpulan tentang Runaway world. Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana. Dalam seminar tentang Antony Giddens yang diselenggarakan oleh Basis pada akhir tahun lalu (1999), diusulkan istilah "dunia yang tunggang-langgang." Istilah ini mungkin cukup pas untuk melukiskan dunia sekarang. Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor "Juggernaut" (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh. Ini semua berlangsung dalam suasana di mana tak ada lagi perlindungan yang lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang merasa yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar. Giddens memang bicara tentang "manufactured risk", dan masyarakat yang mengalaminya disebut "risk society".
Pesantren dalam kerangka ini, justru mampu menghindari bentuk bentuk kekerasan dan akses negatif lain dari globalisasi. Seperti pernyataan Romo Mangun Wijaya, bahwa globalisasi adalah neo kolonialisme karena membawa gerbong kapitalisme yang entah klasik atau yang telah diperbaharui, praktis bersendi Darwinisme. Memang bagus dan dan hebat untuk yang kuat dan pandai, yang kuasa dan yang tega, akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Darwinisme berakar pada prinsip mengganyang yang lemah oleh yang kuat, the survivel of the fittest. Pesantren dalam kapasitas dan kemandiriannya sejauh ini dapat menghindari dari ekses ekonomi dan politik  yang negatif.

KESIMPULAN

Pesantren saat ini mungkin dapat dikategorikan sebagai satu-satunya lembaga Civil Society yang mampu menjaga kemandirian pada negara, menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan lewat detradisionalisasi tanpa harus meninggalkan tradisi atau Al-muhaafadzatu ‘alaa qadiimis shaalih wal-akhdzu bil jadiidil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dan mampu menghindari dari pop culture yang mewabah akibat dari globalisasi. Secara ekonomi, pesantren juga dapat menjaga kemandirian ekonomi, dengan sedapat mungkin menghidupi sendiri tanpa tergantung pada bantuan asing (luar negeri)

DAFTAR BACAAN

Ahmad Suaedy (Editor), Pergulatan Pesantren dan demokrasi, Yogyakarta, Lkis, 2000
Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta, Gramedia
Romo Mangun Wijaya, Globalisasi adalah Neo Kolonialisme Ekonomi dan Budaya, KOMPAS, 24 Januari 1998
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta, P3m, 1985