Oleh : Sholahudin Malik
Barangkali, titik awal berangkat yang terbaik bagi pembahasan persoalan etika ini adalah lewat al-Qur’an. Begitu banyak yang bisa kita bicarakan mengenai etika dalam al-Qur’an. Suatu pembicaran yang sempurna tidak akan dapat dilakuakan, kecuali kalau kita bersedia berakhir dengan pengungkapan seluruh kitab itu sendiri. Namun dalam Islam itu sendiri sudah ada ciri terpokok mengenai etika yang dalam buku Filsafat Islam Oliver Leaman dibedakan dua pendapat antara penganut pandangan tradisionalis dan mereka yang mempunyai semangat pembaharuan yaitu mereka yang bersandar pada kemampuan akal pikiran (ra’yu).
Penganut pandangan tradisionalis, diberi julukan sebagai golongan pembela dan pendukuang ajaran etika al-Qu’ran (ethical valuntarist), berpendapat bahwa semua keputusan hukum harus berdasarkan keputusan agama, dan jika perlu hukum tersebut diambil secara tidak langsung dari sumbernya yang asli, melalui beberapa cara pengambilan hukum yang dibenarkan, seperti analogi (qiyas), yang seringkali ditafsirkan dalam pengertian yang agak ketat dan terbatas, bahkan mereka meyakini bahwa apa yang dimaksud dengan norma-norma etis, adalah hanya apa yang dapat dibenarkan atau tidak dibenarkan, apa yang diperintah atau dilarang oleh Tuhan. Sedangkan golongan “Rasionalis” berpendapat dalam kasus-kasus tertentu, dimana hukum agama tidak dapat memberikan pedoman yang jelas, maka seseorang harus menggunakan keputusan akal pikiran sendiri untuk dapat sampai pada kesimpulan hal-hal yang diperselisihkan dalam hukum maupun etka.
Arti etika sendiri menurut para ahli etika medern, pada hakikatnya, tidaklah melulu bersangkut paut dengan pengetahuan tentang “baik” dan “buruk”. Etika bukan cuma terbatas pada sisi normatifnya saja, etika pada dasarnya menyangkut bidang kehidupan yang luas, paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh Alasdair Macintyre, etika menyangkut analisa konseptual menganai hubungan yang dinamis antara manusia sebagai subyek yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan dorongan motivasi dasar tingkah lakunya, dengan cita-cita tujuan hidupnya serta dengan perbuatan-perbuatan.
Kembali pada persoalan semula, perselisihan mendasar dan pertentangan pada mayarakat pemeluk Islam tentang etika, secara luas telah dibahas oleh George Hourani, seorang yang benar–benar teguh dalam mengambil posisi sebagai pendukung pengkritik pandangan kaum “Tradisionalis”. Dan di dalamnya banyak pendapat seperti al-Ghazali yang tersohor sebagai seorang tokoh pembela tesis golongan voluntaris, ada Mu’tazilah sebagai pendukung golongan rasionalis, ada Asy’ariah, ada Maimun dan lain sebagainya yang dalam pembahasan akan kita coba jabarkan secara terperinci.
B. Kontroversi Golongan Rasionalis dan Tradisionalis tentang Etika Dan Kritik George F. Hourani.
Kaum “Tradisionalis” berpendapat bahwa hasil yang diperoleh dari penggunaan pemikiran secara bebas tidak mampu memberikan jaminan kepastian terhadap wahyu atau bahkan sesungguhnya tidak dapat menjamin kepastian akal itu sendiri. Keyakinan bahwa apa yang dimaksud dengan norma etika adalah hanya apa yang dapat dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh Tuhan, adalah karena adanya pemahaman yang berungkali terhadap kekuasaan dan kekuatan Tuhan dalam banyak surat. Argumen seperti itu, jika diikuti lebih lanjut akan menyatakan bahwa jika aturan-aturan atau perintah Tuhan tersebut sesuai dengan nilai-nilai obyektif yang sudah ada maka dengan demikian ruang lingkup kemahakuasaannya akan terbatasi.
Hourani sendiri, memulai pembahasannya dengan menguji teks-teks yang pada permukaannya tampak sulit untuk ditafsirkan dengan cara seperti yang ditempuh oleh kaum voluntaris. Banyak teks yang menunjukan pada bidang etika dan hubungan yang interpersonal, sebagai contoh : “Jalan kekerasan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang berbuat aniaya terhadap sesamanya”. (QS. XL : 42).
Hourani berpendapat bahwa penggunaan istilah “salah” atau “aniaya” secara pasif, bahkan sangat sulit untuk dianalisa atau dijabarkan dengan menggunakan teori voluntaris seperti dalam ayat : “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan membalas sesudah dianiaya”.(QS. XXVI. 22). Dia berpendapat bahwa kalimat-kalimat ini tidak bisa ditafsirkan dari sudut pengertian taat atau ketidaktaatan terhadap perintah-perintah Tuhan dan dia berkesimpulan bahwa hal ini membuktikan tesis golongan voluntaris adalah salah. Maka jelas, ungkapan penganiayaan diri atau perbuatan salah tidak dikaitkan dengan pengertian perbuatan salah secara moral, dan pengertian etika yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tampak lebih kuat muncul dari pengertian sercara obyektif dan deskriptif.
Golongan anti voluntaris sendiri mempunyai banyak bukti yang dijadikan sandaran bahwa akal adalah faktor yang pokok dalam keberadaan manusia, terutama dalam kaitannya dengan alasan Tuhan menjadikan manusia lain daripada malaikat dan sebagai wakilnya (khalifah)nya dibumi. Manusia mampu mengetahui nama-nama segala sesuatu atau sifat realitas yang utama, sehingga ketika Tuhan menunjuk kita sebagai khalifah dimuka bumi, Dia percaya bahwa kita akan menggunakan akal pikiran kita untuk menggunakan secara baik karunia itu.
C. Pandangan al-Ghazali
al–Ghazali sebagai pembela golongan voluntaris berpendapat bahwa “orang turki, kurdi dan orang baduy yang primitif” yang eksistensi mereka lebih tinggi dari binatang, dengan bekal naluri mereka tahu bahwa mereka harus menghormati yang lebih tua sebagai hasil dari pengalaman dan penggunaan akal mereka. Apakah itu berarti mereka menemukan kewajiban-kewajiban mereka tanpa bantuan agama. Tentu saja kesimpulan demikian amat jauh dari apa yang dimaksud oleh al-Ghazali.
Sebenarnya Ghazali membedakan empat penggunaan akal (aql) :
Pertama : Akal merupakan kualitas yang dapat membedakan kita manusia dengan binatang dan yang memungkinkan tumbuh berkembangnya ilmu teoritis.
Kedua : Akal dapat memungkinkan kita dapat berbuat sebagaimana anak-anak membuat permainan yang tersusun dari atauran-aturan kebenaran (necessary truth). Ketiga : Yang tidak umum akal juga dipersamakan dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengalaman.
Keempat : Akal dikenal sebagai pengendali hawa nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis seseorang. Dalam kaitan ini, hubungan antara akal dan tindak perbuatan yang benar secara moral adalah menarik. Perbedaan tradisional yang biasa disebut orang antara keduanya adalah seperti perbedaan antara aqliyat dan sam’iyat ; aqliyat adalah jenis pengetahuan yang dapat diperoleh lewat akal saja serta lewat proses demonstratif (pembuktian), sedang sam’iyat atau juga disebut al-‘Ulum ash-sharia wa diniya (ilmu-ilmu syari’ah dan agama) adalah hukum dan ilmu pengetahuan agama yang disusun berdasarkan wahyu, maka sifatnya-pun bukan demonstratif.
Jelas bahwa al-Ghazali menerima suatu kenyataan bahwa paling tidak ada beberapa aturan etika yang termasuk wilayah pengetahuan rasional tentang bagaimana seyogyanya manusia hidup bersama dengan yang lain. Menarik untuk dikaji pandangan al-Ghazali lebih lanjut. Meskipun dia ragu terhadap nilai manfaat filsafat dan pendekatan yang digunakan oleh golongan anti voluntaris yang diajarkan oleh tokoh-tokoh filsafat Yunani. Namun komentarnya atas filosofis terhadap etika begitu halus terutama jika dibandingkan dengan komentarnya terhadap ajaran-ajaran filsafat tentang penciptaan alam semesta, keabadiaannya serta pengetahuan Tuhan. Meskipun demikian al-Ghazali menganggap bahwa pendapat para filosof tetap berbahaya, baik bagi mereka yang menerimanya maupun mereka yang menolaknya. Tetapi untuk mengatakan bahwa keberatan al-Ghazali terhadap ajaran-ajaran filsafat mengenai etika jauh tidak sekuat serangannya terhadap ajaran-ajaran filsafat yang berkaitan dengan persoalan-persoalan metafisik.
D. Pandangan Mu’tazilah
Mu’tazilah menyatakan bahwa akal yang bebas merupakan petunjuk yang memadai untuk memperoleh pengetahuan etika, dan inilah yang ditentang oleh al-Ghazali. al-Ghazali berpendapat bahwa akal bukanlah selalu merupakan pembimbing yang dapat dipercaya untuk memperoleh pemahaman bagaimana hendaknya kita mengembangkan pengetahuan etika dan pengetahuan agama yang cocok, hal ini bukan berarti akal tidak punya arti sama sekali.
Mu’tazilah dalam penentangannya terhadap kaum voluntaris pada bidang etika, mengembangkan teori deontologis yang memepersamakan istilah kunci etika seperti wajib, baik dan buruk (wajib, hasan dan Qabih) sebagai “kriteria bagi barang siapa yang tidak mengerjakan berarti dia akan memperoleh celaan” dan “bagi barang siapa yang mengerjakan maka sang pelaku akan memperoleh pujian”. Konsekuensi tindak perbuatan tertentu tidak selalu memasuki wilayah keputusan, sehingga uraian-uraian moral harus sesuai dengan tindak perbuatan tersebut.
E. Pandangan Maimun
Dalam pandangan Maimun, seseorang tidak dapat menggunakan akalnya untuk menentukan hal-hal yang ada di dalam wilayah tindakan moral, apakah dikarenakan pernyataan-pernyataan moral adalah bersifat subyektif?, hanya menyangkut pendapat dan perasaan, semata-mata menyangkut adat kebiasaan, seperti yang dikemukakan oleh pendukung anti hukum alam. Menurut Maimun undang-undang moral, sebelum peristiwa jatuhnya Adam dalam dosa, adalah sama dengan aturan-aturan logika yang bersifat demonstratif.
Namun dia juga berpendapat, bahwa akal manusia memegang peranan yang penting dalam menentukan bagaimana seharusnya tindak perbuatan kita mengambil bentuk, dan bahkan jika kita tidak punya wahyu sebagai tempat kembali, atau jika kita tidak menerima tawaran pendapat yang disampaikan wahyu, kita tetap dalam posisi memerima ‘urutan kedua terbaik’ dalam bentuk nomos sebagai pengganti taurat. Menerima dan merancang hukum ini melibatkan penggunaan akal, dan ini adalah suatu langkah menuju perjalanan jauh menuju inti keberadaan manusia yang dapat dicerna oleh akal, yang terus menerus bersifat paradigmatik.