Oleh Sholahudin Malik, M.Si
Agama melihat tingkah laku kita sebagai tingkah laku yang dibimbing oleh kepercayaan keagamaan dan nilai-nilai yang dianut oleh agama. Sedangkan demokrasi bukan agama dan bukan sistem keagamaan, tetapi merupakan sistem politik. Demokrasi juga mencita-citakan hal yang sama bahwa tingkah laku harus jujur, tidak boleh menipu, menghormati orang lain, toleran dalam perbedaan. Apa perbedaan antara demokrasi dan agama ?. Agama melihat hal ini sebagai nilai-nilai, persoalan baik atau buruk itu persoalan nilai. Kalau semakin baik menghayati agamanya, maka semakin baik seseorang. Sedangkan demokrasi dalam hal baik atau buruk adalah masalah kekuasaan. Semakin kekuasaan diawasi, maka semakin baik orang dan semakin tidak diawasi semakin buruk kekuasaan.
Pesantren selama ini dikenal sebagai institusi pengusung utama masalah-masalah keagamaan (baca; Islam). Dalam sejarahnya pesantren dianggap sebagai lembaga Islam tradisional dengan ‘Trade mark’nya pengkajian kitab-kitab kuning. Seiring arus globalisasi yang merupakan suatu proses dimana batas-batas negara luluh dan tidak penting lagi dalam kehidupan sosial, lambat laun banyak pesantren yang mengalami perubahan mendasar dalam perjalanannya. Media massa, baik cetak maupun elektronik, merupakan saluran utama globalisasi. Cepatnya komunikasi elektronik dan berkembangnya teknologi percetakan jarak jauh membuat aneka macam informasi yang disampaikan melalui media massa menembus batas-batas negara.
Dalam dunia pesantren, perubahan mendasar corak pesantren akibat globalisasi adalah perubahan dari tradisional ke modern yang merupakan representasi dari masyarakat modern. Kenyataan itu mendikotomikan pesantren menjadi pesantren tradisional yang dikenal memakai sistem salafi (mengkaji kitab kuning) dan pesantren modern yang tidak lagi mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Ekses globalisasi tidak lantas menjadikan pesantren kehilangan orientasinya. Tetapi pesantren, terutama yang modern melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan aturan-aturan modernitas, itulah yang disebutkan Giddens bahwa dunia modern mengakibatkan tiga hal sekaligus: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal.
Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang "bertemu" tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan "diciptakan", tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens-status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.
Pesantren ‘modern’ menjadikan mereka sebagai pekerja kebudayaan, pesantren ini mencakup semua ruang lingkup belajar yang lebih luas: bagaimana seorang santri mampu melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang terus berubah. Berkaitan dengan pendidikan pesantren sekarang ini misalnya, orientasi lapangan harus digunakan sebagai bahan pengajaran kitab kuning. Dengan pengajaran kitab yang sarat pengetahuan dan bercorak normatif, para santri sangat sedikit memiliki perspektif agama (Islam) sebagai tantangan ijtihad sosial.
Apakah para santri yang lokasi pesantrennya tidak jauh dari pemukiman masyarakat kumuh, misalnya, mampu menghubungkan realitas sosial seperti itu dengan wacana kitab kuning yang hanya dipelajari sebagai bahan penguasaan dan ke-alim-an. Belum lagi kalau kita berbicara tentang kekayaan seni Islam yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka untuk dipahami, sehingga Islam yang normatif itu tidak terasa kering karena kurang nuansa humanities keislamannya. Karena itu, pengajaran kitab kuning sudah waktunya dibuka dengan orientasi kemanusiaan yang lebih luas dan tidak hanya sekadar memasukkan perspektif modernitas, seolah-olah pesantren terbebani dengan dorongan perlunya "pencerahan" sehingga pesantren merasa harus beradaptasi dengan rasionalitas dan perkembangan sains dan teknologi.
Dengan menggunakan orientasi lapangan, para santri juga akan mengetahui secara langsung, bagaimana sering timpangnya antara anjuran agama yang ideal dan realitas yang sesungguhnya. Dengan kunjungan lapangan secara langsung sudah tentu para santri bisa diajak berpikir mencari alternatif lain, bagaimana menemukan bentuk lain dalam menggali harta-harta agama dalam kehidupan masyarakat industri sekarang ini yang orientasinya bukan wakaf tanah melainkan, mungkin, bisa dikembangkan wakaf dalam bentuk lain. Dengan demikian, selain para santri sejak awal telah dirangsang berpikir kreatif dan tidak konsumtif dalam menerima pengajaran kitab kuning. Mereka sekaligus, dengan orientasi lapangan seperti itu, bisa mengetahui bagaimana hubungan kesalehan dengan konflik-konflik kepentingan sosial.
Tradisi pluraisme dan demokrasi kini juga banyak dikembangkan dalam wacana pesantren, pesantren-pesantren NU entah karena figur GUS DUR misalnya, tidak asing lagi dengan jargon-jargon demokrasi dan pluralisme yang bermuara pada sikap toleran.
Tradisi pluraisme dan demokrasi kini juga banyak dikembangkan dalam wacana pesantren, pesantren-pesantren NU entah karena figur GUS DUR misalnya, tidak asing lagi dengan jargon-jargon demokrasi dan pluralisme yang bermuara pada sikap toleran.
Sisi lain Giddens dalam buku-bukunya memunculkan Nation-state and Violence, karena dua konsep itu menjadikan kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknolog. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.
Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau tidak cocok. Ambillah contoh di bidang pengobatan. Orang dapat memilih pengobatan cara Barat tetapi ia dapat juga memilih "pengobatan alternatif." Mengapa ia memilih yang satu dan tidak yang lain? Jawaban yang diperoleh sering berupa "tidak tahu".
Dalam situasi ini tidak heran bahwa Giddens tiba pada kesimpulan tentang Runaway world. Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana. Dalam seminar tentang Antony Giddens yang diselenggarakan oleh Basis pada akhir tahun lalu (1999), diusulkan istilah "dunia yang tunggang-langgang." Istilah ini mungkin cukup pas untuk melukiskan dunia sekarang. Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor "Juggernaut" (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh. Ini semua berlangsung dalam suasana di mana tak ada lagi perlindungan yang lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang merasa yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar. Giddens memang bicara tentang "manufactured risk", dan masyarakat yang mengalaminya disebut "risk society".
Pesantren dalam kerangka ini, justru mampu menghindari bentuk bentuk kekerasan dan akses negatif lain dari globalisasi. Seperti pernyataan Romo Mangun Wijaya, bahwa globalisasi adalah neo kolonialisme karena membawa gerbong kapitalisme yang entah klasik atau yang telah diperbaharui, praktis bersendi Darwinisme. Memang bagus dan dan hebat untuk yang kuat dan pandai, yang kuasa dan yang tega, akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Darwinisme berakar pada prinsip mengganyang yang lemah oleh yang kuat, the survivel of the fittest. Pesantren dalam kapasitas dan kemandiriannya sejauh ini dapat menghindari dari ekses ekonomi dan politik yang negatif.
KESIMPULAN
Pesantren saat ini mungkin dapat dikategorikan sebagai satu-satunya lembaga Civil Society yang mampu menjaga kemandirian pada negara, menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan lewat detradisionalisasi tanpa harus meninggalkan tradisi atau Al-muhaafadzatu ‘alaa qadiimis shaalih wal-akhdzu bil jadiidil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dan mampu menghindari dari pop culture yang mewabah akibat dari globalisasi. Secara ekonomi, pesantren juga dapat menjaga kemandirian ekonomi, dengan sedapat mungkin menghidupi sendiri tanpa tergantung pada bantuan asing (luar negeri)
DAFTAR BACAAN
Ahmad Suaedy (Editor), Pergulatan Pesantren dan demokrasi, Yogyakarta, Lkis, 2000
Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta, Gramedia
Romo Mangun Wijaya, Globalisasi adalah Neo Kolonialisme Ekonomi dan Budaya, KOMPAS, 24 Januari 1998
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta, P3m, 1985
KESIMPULAN
Pesantren saat ini mungkin dapat dikategorikan sebagai satu-satunya lembaga Civil Society yang mampu menjaga kemandirian pada negara, menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan lewat detradisionalisasi tanpa harus meninggalkan tradisi atau Al-muhaafadzatu ‘alaa qadiimis shaalih wal-akhdzu bil jadiidil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dan mampu menghindari dari pop culture yang mewabah akibat dari globalisasi. Secara ekonomi, pesantren juga dapat menjaga kemandirian ekonomi, dengan sedapat mungkin menghidupi sendiri tanpa tergantung pada bantuan asing (luar negeri)
DAFTAR BACAAN
Ahmad Suaedy (Editor), Pergulatan Pesantren dan demokrasi, Yogyakarta, Lkis, 2000
Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta, Gramedia
Romo Mangun Wijaya, Globalisasi adalah Neo Kolonialisme Ekonomi dan Budaya, KOMPAS, 24 Januari 1998
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta, P3m, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar